LEASING

A. Sejarah Leasing

Sejarah perkembangan leasing menurut T.M. Tom Clark dimulai sekitar tahun 1850, pada saat tercatatnya perusahaan pertama yang menyewakan kereta api, di Amerika Serikat, The Bell Telephone Company mulai memberikan layanan penyewaan telepon kepada para langganannya melalui pembayaran secara cicilan pada tahun 1877. Sementara di tahun 1952, perusahaan leasing di San Fransisco mendatangi perusahaan-perusahaan penghasil barang untuk menawarkan jasa penjualan secara leasing.

Kejadian ini mendorong munculnya usaha leasing di Inggris, Jerman dan Jepang. Di Indonesia leasing mulai muncul tahun 1974 dan berkembang sedemikian rupa sehingga pada tahun 1984 telah berdiri 48 perusahaan leasing dengan total kontrak mencapai 436,1 miliar rupiah[1].

B. Pengertian Leasing

Istilah Leasing berasal dari bahasa Inggris to Lease yang berarti menyewakan. Leasing atau sewa guna adalah suatu kegiatan pembiayaan kepada perusahaan (badan hukum) atau perorangan dalam bentuk pembiayaan barang modal. Pembayaran kembali oleh peminjam dilakukan secara berkala dan dalam waktu jangka menengah atau panjang. Perusahaan yang menyelenggarakan leasing disebut Leessor, sedangkan perusahaan yang mengajukan leasing disebut lessee.

Sedangkan pengertian sewa guna usaha sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Selanjutnya yang dimaksud dengan finance lease adalah kegiatan sewa guna usaha dimana lesse pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa guna usaha berdasarkan nilai sisa yang disepakati. Sebaliknya operating lease tidak mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa guna usaha.[2]

Selain Lessor dan Lessee, dalam kegiatan sewa guna usaha seringkali melibatkan pihak ketiga, misalnya pemasok (supplier), atau Credit Provider. Obyek kegiatan leasing meliputi meliputi barang-barang modal pada sektor transportasi, industri, konstruksi, pertanian, pertambangan, perkantoran, kesehatan.

C. Ketentuan Mengenai LeasingKegiatan leasing secara resmi diperbolehkan beroperasi di Indonesia setelah keluar surat keputusan bersama antara Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor Kep. 122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/74 dan Nomor 30/Kpb/I/74 Tanggal 7 Februari 1974 Tentang Perizinan Usaha Leasing di Indonesia.

Wewenang untuk memberikan usaha leasing dikeluarkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan Surat Keputusan Nomor 649/MK/IV/5/1974 Tanggal 6 Mei 1974 yang mengatur mengenai ketentuan tata cara perizinan dan kegiatan usaha leasing di Indonesia.

Perkembangan selanjutnya adalah dengan keluarnya Kebijaksanaan Deregulasi 20 Desember 1988 yang isinya mengatur tentang usaha leasing di Indonesia dan dengan keluarnya kebijaksanaan ini, maka ketentuan mengenai usaha leasing sebelumnya tidak berlaku lagi. Kemudian dalam Kepprez Nomor 61 Tahun 1988 dan Keputusan Menteri Keuangan nomor 1251/KMK.013/1988 Tanggal 20 Desember 1988 diperkenalkan adanya istilah pembiayaan yaitu kegiatan dalam bentuk dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat luas.[3]

D. Pihak-pihak Yang Terlibat

Ada beberapa pihak yang terlibat dalam pemberian fasilitas leasing, dan masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajibannya. Masing-masing pihak dalam melakukan kegiatannya selalu bekerja sama dan saling berkaitan satu sama lainnya melalui kesepakatan yang dibuat bersama.

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemberian fasilitas leasing adalah sebagai berikut:

1. Lessor.

Merupakan perusahaan leasing yang membiayai keinginan para nasabahnya untuk memperoleh barang-barang modal.

2. Lessee

Nasabah yang mengajukan permohonan leasing kepada lessor untuk memperoleh barang modal yang diinginkan.

3. Supplier

4. Pedagang yang menyediakan barang yang akan dileasing sesuai perjanjian antara lessors dengan lessee dan dalam hal ini supplier juga dapat bertindak sebagai lessor.

5. Asuransi

Merupakan perusahaan yang akan menanggung resiko terhadap perjanjian antara lessor dengan lessee. Dalam hal ini lessee dikenakan biaya asuransi dan apabila terjadi sesuatu, maka perusahaan akan menanggung resiko sebesar sesuai dengan perjanjian terhadap barang yang dileasingkan

E. Macam-macam Leasing

Di dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 Tanggal 21 November 1991, kegiatan leasing dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:

1. Melakukan sewa guna usaha dengan hak opsi bagi lessee (finance lease).

2. Melakukan sewa guna usaha dengan tanpa hak opsi bagi lessee (operating lease).

Kemudian dalam praktiknya transaksi finance leasing dibagi lagi ke dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

  1. Operational Lease (Al-Ijarah). Konsep ini secara etimologi berarti upah atau sewa. Ahli hukum Islam mendefinisikannya dengan menjual manfaat, kegunaan, jasa dengan bayaran yang ditetapkan. Bank syariah mengaplikasikan elemen ini dengan berbagai bentuk produk yang diletakkan pada skim pembiyaan[4], diantara caranya adalah:

· Bank dapat memberi pembiayaan kepada nasabah untuk tujuan mendapatkan penggunaan manfaat sesuatu harta dibawah elemen al-Ijarah.

· Bank terlebih dahulu membeli harta yang akan digunakan oleh nasaba, kemudian bank menyewakan kepada nasabah menurut tempo yang dikehendaki, kadar sewaan dan syarat-syarat lain yang disetujui kedua belah pihak.

Dalam Praktiknya, Lessor biasanya membeli barang modal dari Supplier atau pihak lain terlebih dahulu, kemudian lessee akan membayar sejumlah rental sejumlah tertentu, tanpa memperhitungkan terlalu rinci biaya yang dikeluarkan oleh Lessor. Cara seperti ini dimungkinkan karena setelah masa sewa habis, barang tersebut masih cukup berharga untuk disewakan lagi ataupun dijual. Pada operataing lease ini biasanya pihak Lessor bertanggungjawab terhadap perawatan barang modal tersebut. Jenis barang modal yang banyak disewakan dengan cara ini terutama barang yag memiliki nilai tinggi, misalnya ; pesawat, alat-alat berat, traktor, mesin- mesin dan sebagainya.

  1. Finance Lease (Ijarah wa Iqtina). Skim ini merupakan bentuk lain dari ijarah dimana persewaan berakhir dengan perpindahan hak milik dan objek sewa. Jenis sewa ini dapat lagi dibagi dua, yaitu Direct Finance Lease dan Sale and Lease Back[5]. Direct Finance Lease adalah jika pihak lessee pada waktu sebelumnya belum memiliki barang modal yang dijadikan obyek leasing tersebut. Secara sederhana dicontohkan sebagai berikut: Lessor akan membeli barang modal atas permintaan pihak Lessee yang sepakat saling menyelenggarakan kontrak leasing. Sale and Lease Back adalah pihak Lessee yang sebelumnya telah memiliki barang modal tertentu, menjual barang tesebut kepada Lessor. Kemudian antara Lessor dan Lessee saling melakukan kontrak sewa guna usaha. Dalam model ini pihak Lessee berkepentingan atas uang tunai (cash) yang akan dimanfaatkan untuk modal usaha atau kepentingan lainnya.
  2. Leverage Lease. Leverage Lease adalah finance lease yang melibatkan selain pihak lessor dan lesse, juga pihak ketiga yaitu Credit Provider. Peran pihak ketiga ini adalah membiayai sebagian barang modal yang akan disewakan; Pihak Lessor hanya akanmembiayai sebesar 20% sampai dengan 40 % harga barang modal, sedangkan sisanya dibiayai pihak ketiga tersebut.
  3. Cross Border lease. Cross Border lease adalah usaha leasing yang melewati batas wilayah suatu negara. Dalam model ini diperlukan suatu penanganan khusus meliputi aturan hukumnya, perpajakan, akuntansi, dan sebagainya. Contoh barang modal yang biasa disewa guna usahakan dengan cara ini adalah pesawat terbang.

F. Mekanisme Leasing[6]

leasing

Pihak-pihak yang terlibat dalam leasing adalah :

  • Lessee
  • Lessor
  • Supplier
  • Perusahaan asuransi

Adapun prosedur dari mekanisme leasing yang menyangkut pihak-pihak tersebut diatas, secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :

  1. Lessee bebas memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan, mengadakan penawaran harga dan menunjuk supplier peralatan yang dimaksud.
  2. Setelah Lessee mengirim permohonan Lease, Mengirimkan kepada Lessor disertai dokumen pelengkap.
  3. Lessor mengevaluasi kelayakan kredit dan memutuskan untuk memberikan fasilitas lease dengan syarat dan kondisi yang disetujui Lessee (lama kontrak pembayaran sewa lease), maka kontrak lease dapat ditandatangani.
  4. Pada saat yang sama, Lessee dapat menandatangani kontrak asuransi untuk peralatan yang di lease dengan perusahaan asuransi yang disetujui Lessor, seperti yang tercantum pada kontrak Lease. Antara Lessor Lessor dan Perusahaan Asuransi terjalin perjanjian kontrak utama.
  5. Kontrak pembelian peralatan akan ditandatangani Lessor dengan Supplier peralatan tersebut.
  6. Supplier dapat mengirim perlatan yang di lease ke lokasi Lessee. Untuk mempertahankan dan memelihara kondisi perusahaan tersebut, Supplier akan menandatangani perjanjian pelayanan purna jual.
  7. Lessee menandatangani tanda terima peralatan dan menyerahkan kepada Supplier.
  8. Supplier menyerahkan surat tanda terima (yang diterima dari Lessee), bukti pemilikan dan pemindahan pemilikan kepada Lessor,
  9. Lessor membayar harga peralatan yang di lease kepada Supplier.
  10. Lessee membayar sewa lease secara periodik sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah ditentukan dalam kontrak Lease.

G. Problematika dan Hukum Leasing

Ijarah atau sewa menyewa (leasing) barangkali merupakan aktivitas institusi-institusi keuangan islam dengan pertumbuhan yang paling cepat. Prinsip kontrak ini dikenal dengan baik dan sangat identik dengan sewa menyewa konvensional: bank menyewakan aset kepada pihak ketiga dengan harga sewa tertentu. Jumlah pembayaran sudah diketahui diawal dan aset itu tetap menjadi properti dari orang yang menyewakan. Dalam beberapa hal, kontrak Islam sedikit berbeda dengan kontrak peminjaman Konvensional tersebut. Sebuah variasi dari prinsip dasar pemindahan adalah Ijarah wa Iqtina , yaitu sebuah kesepakatan beli-sewa (lease-purchase agreement: harga sewa dihitung sebagai bagian dari harga beli) yang pada akhir waktu persewaan, penyewa menjadi pemilik aset.

Dalam pandangan Fiqh Islam klasik, Ijarah dipahami sebagai perdagangan (usufruct) dan aturan-aturannya mengikuti jual beli pada umumnya[7]. Dalam rangka untuk menghindari elemen riba dan gharar, ada perbedaan kecil antara ijarah dengan sewa menyewa konvensional. Hukum fiqh melihat keuntungan dan beban-beban properti sebagai milik penyewa (lessee) secara pasti dan tidak bisa diubah, sedangkan yang lainnya adalah milik orang yang menyewakan (lessor). Misalnya, hukum fiqh menyatakan bahwa kewajiban untuk memperbaiki barang-barang tersebut selalu jatuh pada lessor karena perbaikan tersebut secara otomatis menguntungkannya sebagai pemilik. Usufruct (manfaat) juga bukan sesuatu yang ada dan nyata, tetapi suatu aliran penggunaan yang memanjang hingga dimasa yang akan datang, yang sangat beresiko dan tidak stabil. Dengan demikian, hukum Islam memberikan jangkauan yang luas kepada penyewa (lessee) untuk membatalkan penyewaannya jika manfaat tersebut terbukti bernilai lebih rendah dari yang diharapkan. Dengan kata lain, harga jual aset tersebut kepada penyewa pada habisnya batas waktu kontrak tidak dapat ditentukan sebelumnya.

Sejumlah alasan yang dapat menjelaskan cepatnya pertumbuhan kontrak sewa-menyewa tersebut, di antaranya adalah : kontrak sewa-menyewa merupakan sebuah instrumen yang dapat diterima dimata para ulama; merupakan instrumen intermediasi keuangan yang lebih efisien; melalui pembiayaan aset, sewa menyewa juga merupakan instrumen yang berguna dalam promosi pembangunan ekonomi; karena kontrak semacam ini merupakan sebuah instrumen yang mapan dan sejalan dengan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur yang terstandarisasi dan karena kesamaannya dengan sewa-menyewa konvensional, kontrak sewa-menyewa ini adalah model pembiayaan yang fleksibel yang sesuai dengan sekuritisasi dan perdagangan sekunder (secondary trading) serta dapat mengolaborasi dengan institusi-institusi konvensional[8].

Walaupun terutama diarahkan pada bisnis, Ijarah meningkat penggunaannya pada keuangan retail, terutama untuk kredit rumah, mobil dan kebutuhan rumah tangga.

H. Aplikasi berbasis syariah

· Prinsip Sewa Beli ( Ijarah wa Iqtina/ Ijarah Muntahiyyah Bittamlik )

Ijarah wa Iqtina’ atau sering disebut juga dengan Ijarah ahiyyah Bittamlik adalah akad sewa menyewa suatu barang antara bank dengan nasabahnya di mana nasabah diberi kesempatan untuk membeli objek sewa pada akhir akad. Dalam dunia usaha akad ini dikenal dengan istilah Financial Lease with Purchase Option.

Akad ini merupakan perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau suatu akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan hak kepemilikan inilah yang membedakan dengan ijarah (sewa) biasa. Untuk akad ini, harga sewa dan harga beli ditetapkan bersama di awal perjanjian.

Ada berbagai permasalahan hukum yang perlu diperhatikan ketika mengadakan akad ini, dalam klausul kontrak harus dijelaskan mengenai bentuknya baik dengan jalan sewa dengan janji untuk menjual, nilai sewa yang mereka tentukan dalam ijarah, harga barang dalam transaksi jual dan kapan hak kepemilikan beralih[9]. Mengenai akad ini juga perlu diantisipasi risiko yang mungkin terjadi, seperti:

1) Default, nasabah tidak membayar cicilan/sewa dengan sengaja.

2) Rusaknya aset ijarah yang mengakibatkan biaya pemeliharaan bertambah.

3) Nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau membeli aset tersebut.

I. Perbedaan dan persamaan antara Ijarah dan Leasing[10]

Indicator Ijarah Leasing
Objek Objek yang disewakan bisa berupa manfaat barang dan jasa. Dalam hal ini, ijarah memang terbagi menjadi dua.1. Manfaat barangAkad untuk mendapatkan manfaat dari barang adalah sewa menyewa. Dengan imbalam berupa uang sewa

2. Manfaat jasa

Akad yang digunakan untuk mendapat manfaat jasa adalah upah mengupah. Imbalan yang diterima berupa upah/gaji yang dibayarkan kepada pekerja.

Dalam leasing,transaksi yang digunakan hanya terbatas pada manfaat barang saja.
Methods of payments (Metode Pembayaran) Ada 2 metode pembayaran dalam akad Ijarah1) Not contingent to performanceMetode pembayaran ini tidak tergatung kepada kinerja objek ijarah. Harga sewa/upah yang harus dibayarkan tergantung pada lamanya masa sewa,bukan pada kinerjanya.

2) Contingent to performance

Metode pembayaran ini disebut juga sebagai Ju’alah. Yaitu uang sewa/upah yang dibayarkan tergantung pada kinerja/syarat yang disepakati di awal. Kalau ternyata syarat tersebut tidak terpenuhi,maka uang sewa tidak dibayarkan.

Metode pembayaran yang ada dalam leasing adalah Not contingent to performance.
Transfer of Tittle (Perpindahan Kepemilikan) Perpindahan kepemilikan:· Ijarah: tidak ada perpindahan kepemilikan· IMBT: ada perjanjian di awal akad apakah nantinya barang yang disewakan dihibahkan atau dijual di akhir periode sewa Perpindahan kepemilikan:· Operating lease: tidak terjadi perpindahan kepemilikan· Financial lease: di akhir periode sewa si penyewa diberikan pilihan untuk membeli atau tidak barang yang disewa tersebut
Lease purchase (sewa-beli) Tidak mengenal Lease-PurchaseTransaksi tersebut dilarang dalam syari’ah karena terjadi akad two in one (shafqatain fi al shafqah). Tidak ada kepastian dalam akad ini. Apakah ini akad sewa atau beli. Kerena perpindahan kepemilikan berlangsung selama periode sewa.Akan tetapi dalam perbankan syari’ah dikenal bentuk Ijarah Muntahia bittamlik. Terdapat variasi/model lain dalam transaksi leasing,yaitu Lease-purchase (sewa-beli) dimana dalam kontrak ini,perpindahan kepemilikan terjadi selama masa sewa. Jika di tengah periode transaksi tersebut dibatalkan,maka kepemilikan barang tersebut dibagi 2 antara penyewa danyang menyewakan. Transaksi tersebut dilarang dalam syari’ah karena terjadi akad two in one (shafqatain fi al shafqah). Tidak ada kepastian dalam akad ini. Apakah ini akad sewa atau beli. Kerena perpindahan kepemilikan berlangsung selama periode sewa.
Sale and lease back Sale and lease back adalah akad dimana si penjual ingin menjual sebuah barang,akan tetapi ia masih ingin menggunakannya. Contoh, A ingin menjual mobil kepada si B. karena A masih butuh manfaat dari ‘mantan ‘ mobilnya tersebut,maka B menyewakan kembali mobilnya kepada A. dalam Syari’ah,akad tersebut diperbolehkan. Dalam Leasing juga mengenal transaksi Sale and Lease.

DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Gemala. Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Perasuransian Syariah Di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006.

Karim, Adiwarman. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2004.

Kasmir. Bank dan lembaga keuangan lainnya edisi keenam. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2002.

Subagyo dkk. Bank dan Lembaga keuangan lainnya. Yogyakarta: STIE YKPN. 2002.

Warde, Ibrahim. Islamic Finance : Keuangan Islam Dalam Perekonomian Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.


[1] Subagyo dkk. Bank dan Lembaga keuangan lainnya. Yogyakarta: STIE YKPN. 2002. hlm.223.

[2] Kasmir, Bank dan lembaga keuangan lainnya edisi keenam, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2002), hlm. 257-258

[3] Ibid hlm.

[4] Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Perasuransian Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2006), hlm. 89.

[5] Subagyo dkk. Bank dan Lembaga keuangan lainnya. Yogyakarta: STIE YKPN. 2002. hlm. 224.

[6]

[7] Ibrahim Warde. Islamic Finance : Keuangan Islam Dalam Perekonomian Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009. hlm. 287.

[8] Ibid. hlm. 288.

[9] Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Perasuransian Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2006), hlm. 231.

[10] Karim, Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2004. hlm. 140.

Tinggalkan komentar