Waspada Perang Dagang Amerika-Tiongkok

Donald Trump telah resmi dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat ke 45. Sosok kontroversial ini ternyata benar-benar melaksanakan janji kampanyenya, mulai dari menarik diri dari perjanjian perdagangan Trans Pacific Partnership (TPP), melarang masuk warga dan pengungsi dari tujuh negara yang memiliki potensi terorisme bagi Amerika Serikat, dan realisasi pembangunan tembok perbatasan dengan Meksiko.

Namun hal yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah dampak dari Perang dagang Amerika-Tiongkok yang sedang menghangat seiring terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika ke-45. Data Departemen Perdagangan Amerika Serikat menunjukkan bahwa defisit perdagangan Amerika Serikat sudah per-september 2016 sudah mencapai USD 367 miliar, dimana 70%-nya disumbangkan defisit Tiongkok. Donald Trump dalam kampanyenya pada tahun lalu tak mau tinggal diam dengan berencana menetapkan tarif impor 45% bagi produk Tiongkok.

Pada tahun 2014, berdasarkan data yang dihimpun oleh MIT Media Lab menyebutkan bahwa nilai ekspor Tiongkok ke Amerika Serikat sebesar USD 433 miliar, 51%-nya merupakan barang elektronik seperti komputer, peralatan komunikasi, dan alat rumah tangga lainnya. Sejauh ini belum diketahui apakah tarif 45% yang dijanjikan Trump bagi produk impor Tiongkok akan ditetapkan ke seluruh atau sebagian jenis produk. Untuk sementara ini, anggaplah Trump akan menetapkan tarif 45% bagi produk impor Tiongkok.

Tarif yang tinggi akan membuat produk Tiongkok kurang kompetitif di Amerika sehingga harus mencari pasar diluar Amerika. Amerika Serikat memang tujuan utama ekspor Tiongkok dengan pangsa nilai ekspor 18% dari total ekspor Tiongkok secara keseluruhan sebesar USD 2.37 Triliun (2014), akan tetapi total nilai ekspor ke Benua Amerika tidak lebih besar dibanding ke Benua Asia.

Pada periode yang sama pangsa nilai ekspor terbesar produk Tiongkok berturut-turut ada di Hongkong (11%), Jepang (7%), Korea Selatan (3,8%), dan Indonesia hanya 1.4%, tidak lebih tinggi dibanding Thailand (1.6%) dan Malaysia (1.5%). Sebagian besar jenis produk yang diimpor sama disetiap negara, yakni barang elektronik. Untuk Indonesia, persentase nilai impor barang elektronik dari Tiongkok hanya sebesar 42% dari total nilai impor keseluruhan, terendah dibanding negara mitra perdagangan utama Tiongkok di Asia.

Jika melihat nilai dari jenis barang yang diekspor yang merupakan barang elektronik, kemungkinan Indonesia tidak terlalu banyak mendapatkan kiriman barang “buangan” tersebut mengingat barang elektronik merupakan barang dengan harga yang cukup tinggi sehingga belum dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, maka negara Asia Timur dan Eropa Barat akan menjadi pangsa barang elektronik “buangan” dari Tiongkok karena daya beli Masyarakatnya yang lebih tinggi.

Indonesia sendiri harus mewaspadai terutama pada barang impor seperti tekstil dan pakaian jadi, makanan, dan pertanian. Meskipun nilai impornya tidak sebesar barang elektronik, sektor ini masih menjadi tumpuan industri dalam negeri dan menyerap banyak tenaga kerja, terlebih sejak berlakunya perdagangan bebas ASEAN dan Tiongkok produk impor murah dari Tiongkok terus membanjiri pasar Tanah Air yang sedikit demi sedikit mengurangi keuntungan produsen dalam Negeri dan meningkatkan risiko PHK pada industri sejenis di dalam negeri.

Presiden Amerika ke 45 sudah dilantik, oleh karena itu tidak ada salahnya jika kita membuat persiapan terkait perang dagang Amerika-Tiongkok sebelum kebijakan Presiden Amerika yang baru benar-benar akan direalisasikan dan berjalan. Defisit perdagangan Indonesia jika perang dagang Amerika-TIongkok mungkin tidak semakin dalam jika dilihat dari cukup kecilnya persentase perdagangan Tiongkok dengan Indonesia, serta menimbang barang Tiongkok yang berupa barang elektronik.

Sektor tekstil dan pakaian jadi, makanan dan produk pertanian yang kemungkinan besar akan mendapatkan imbas pertama dari perang dagang Amerika-Tiongkok. Insentif pada sektor-sektor tersebut perlu disiapkan dari sekarang, persiapan ini tidak hanya untuk mengatasi perang dagang saja, tetapi juga untuk pengembangan usaha dalam jangka menengah dan panjang. Persiapan ini dapat dimulai dari paket kebijakan ekonomi yang telah berjalan 14 jilid. Jika insentif yang diberikan kepada ketiga sektor tersebut berjalan dengan lancar, maka diharapkan dapat mengurangi dampak perang dagang Amerika-Tiongkok yang mungkin terjadi.

Kedepannya kita juga berharap agar Presiden Amerika terpilih dapat melunak terkait dengan kebijakan ekonomi yang kontroversial semasa kampanye. Selain itu, tak lupa daya saing produk dalam negeri harus terus ditingkatkan agar dapat kompetitif ditengah era globalisasi saat ini.

Tinggalkan komentar