Pricing Pembiayaan Bank Syariah

Pembiayaan (financing)  adalah salah satu tugas utama bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit (Syafi’i Antonio:2009)

Jenis-jenis pembiayaan :

  • Dilihat dari segi kegunaan
  1. Pembiayaan investasi, Merupakan pembiayaan jangka panjang yang biasanya digunakan untuk keperluan perluasan usaha atau membangun proyek/pabrik baru atau untuk keperluan rehabilitasi. Contohnya adalah pembangunan pabrik atau membeli mesin-mesin.
  2. Pembiayaan modal kerja, Merupakan pembiayaan yang digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam operasionalnya. Contohnya adalah pembelian bahan baku, gaji pegawai, atau biaya lainnya yang berkaitan dengan proses produksi perusahaan.
  • Dilihat dari segi tujuan pembiayaan
  1. Pembiayaan produktif, Pembiayaan yang diberikan untuk menghasilkan barang atau jasa.
  2. Pembiayaan konsumtif, Pembiayaan yang digunakan untuk dikonsumsi secara pribadi. Contohnya pembiayaan untuk perumahan, mobil pribadi, dan lainnya.
  3. Pembiayaan perdagangan, Pembiayaan kepada pedagang dan digunakan untuk membiayai  aktivitas perdagangannya seperti untuk membeli barang dagangan yang pembayarannya diharapkan dari hasil penjualan barang dagangan tersebut.
  • Dilihat dari segi jangka waktu
  1. Pembiayaan jangka pendek, Pembiayaan yang memiliki jangka waktu kurang dari 1 tahun atau paling lama 1 tahun dan biasanya untuk keperluan modal kerja.
  2. Pembiayaan jangka menengah, Pembiayaan berkisar antara 1 tahun sampai dengan 3 tahun dan biasanya untuk keperluan investasi.
  3. Pembiayaan jangka panjang, Pembiayaan yang memiliki jangka waktu di atas 3 tahun atau 5 tahun. Biasanya untuk investasi jangka panjang seperti perkebunan karet, kelapa sawit atau manufaktur.

Sebelum memberikan pembiayaan , bank melakukan analisis terlebih dahulu. Berikut ini merupakan prinsip-prinsip analisis pembiayaan:
Prinsip 6 C

  • Character. Meliputi kemauan dan kemampuan nasabah untuk membayar. Sumber analisis: daftar riwayat hidup calon debitur.
  • Capacity. Melihat sejauhmana kemampuan calon debitur untuk menghasilkan atau mengelola keuangan untuk memenuhi kewajibannya. Sumber analisis: laporan keuangan yang sudah berjalan, rencana bisnis dan keuangan.
  • Capital.  Bertujuan untuk mengetahui struktur modal calon debitur. Berapa yang berasal dari perusahaan sendiri dan dari pihak lain. Sumber analisis: perhitungan working capital, modal tertanam, debt to equity ratio.
  • Collateral. Merupakan barang yang diserahkan oleh debitur sebagai jaminan atas pembiayaan. Syarat jaminannya dapat diidentifikasi, dapat ditentukan nilainya, marketable, tidak mudah rusak/berubah bentuk.
  • Condition of Economic. Situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya yang mempengaruhi perekonomian yang mungkin akan dapat mempengaruhi kelancaran usaha calon debitur. Contoh: kebijakan moneter, kebijakan pemerintah dan perpajakan.
  • Constraint. Adalah kendala apa saja yang mungkin akan menghambat usaha calon debitur.

Prinsip 7 P

  • People. Penilaian kinerja terhadap calon debitur dan juga mitra usahanya.
  • Purpose. Penilaian atas maksud dan tujuan permohonan pembiayaan oleh calon debitur.
  • Party. Mengklasifikasi debitur berdasarkan modal, kebutuhan, skala usaha dan legalitas.
  • Payment. Penilaian terhadap sumber-sumber pengembalian pembiayaan agar penyelesaian pembiayaan sesuai dengan kesepakatan dan dapat dilaksanakan tanpa hambatan.
  • Prospect. Yaitu untuk menilai harapan ke depan terutama terhadap objek pembiayaan yang dibiayai.
  • Profitability. Artinya pembiayaan yang dibiayai oleh bank akan memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak baik bank maupun nasabah.
  • Protection. Artinya perlindungan terhadap objek pembiayaan yang dibiayai. Bank harus menguasai agunan, baik yang berupa fixed asset maupun non fixed asset.

Prinsip 7A

  • Aspek hukum. Penilaian kelengkapan dan keabsahan surat-surat atau dokumen yang dimiliki seperti izin-izin usaha atau dokumen pendukung lainnya.
  • Aspek pemasaran. Dilakukan untuk menilai prospek pasar yang akan dimasuki, seberapa besar pasar dan peluang pasar yang ada dan persaingannya.
  • Aspek keuangan. Dengan memperhatikan sumber-sumber dana yang akan diperoleh untuk membiayai usaha serta proyeksi neraca dan laporan laba rugi untuk beberapa periode ke depan.
  • Aspek teknis atau operasional.  Dikaitkan dengan penentuan lokasi usaha, tata letak dan teknologi yang digunakan si calon debitur.
  • Aspek ekonomi sosial. Apakah kehadiran usaha yang dibiayai memiliki dampak ekonomi dan sosial.
  • Aspek organisasi dan manajemen. Menilai kebutuhan tenaga kerja yang dimiliki perusahaan baik secara kualitas maupun kuantitas serta bagaimana perencanaan yang dimiliki sampai dengan pengawasan usaha yang dijalani.
  • Aspek amdal. Apakah usaha yang dijalankan memiliki dampak usaha terhadap lingkungan seperti tanah, air, udara, maupun manusia.

Tujuan dari analisis pembiayaan dengan prinsip-prinsip yang telah dijelaskan di atas bertujuan untuk mengantisipasi kemungkinan gagal bayar dari pembiayaan yang diberikan bank kepada nasabah. Karena dana yang digunakan untuk pembiayaan berasal dari pihak ketiga (nasabah) maka bank harus bisa menjamin ketersediaan dana apabila sewaktu-waktu dana tersebut ditarik nasabah sehingga bank wajib menjaga kelancaran pengembalian pembiayaan. Dana pihak ketiga yang dihimpun bank  termasuk dana berbiaya karena bank memiliki kewajiban untuk memberikan imbalan atau bagi hasil. Imbalan ini diperoleh bank dari kegiatan pembiayaan.

Dalam menentukan imbalan pembiayaan, bank tidak sembarang menetapkannya. Sebelumnya bank akan menghitung biaya-biaya yang harus dikeluarkan bank untuk setiap rupiah dana yang dihimpunnya dari berbagai sumber sebelum dikurangi likuiditas wajib dan biaya lainnya seperti overhead cost, pajak, dan margin yang ditetapkan bank. Dari hasil perhitungan itu akan diperoleh persentase tingkat imbalan pembiayaan atau bisa juga disebut pricing pembiayaan.

Pada bank konvensional istilah pricing pembiayaan adalah base lending rate. Untuk menentukan cost of fund, bank konvensional mengacu pada suku bunga simpanan yang telah ditetapkan. Sedangkan bank syariah masih mengikuti acuan suku bunga simpanan seperti bank konvensional untuk bersaing dengan bank konvensional.

Untuk menghitung besarnya biaya dana atau cost of funds terdapat beberapa konsep yang dianut oleh setiap bank, di antaranya adalah:

  • Weighted Average Cost of Funds Method (WACOF) atau Metode Biaya Dana Rata-Rata Tertimbang.
  • Historical Average Cost of Funds Method atau Metode Biaya Dana Rata-Rata Historis.
  • Marginal Cost of Funds Method atau Metode Biaya Dana Marginal.

Namun metode yang sering digunakan oleh bank-bank komersial adalah metode WACOF (Soetanto Hadinoto:2008).

Weighted Average Cost of Funds Method (WACOF)
Metode perhitungan biaya dana ini dilakukan dengan memperhatikan komposisi serta peran masing-masing sumber dana secara proporsional  sehingga dapat menggambarkan biaya dana yang dihimpun oleh bank secara keseluruhan. Dengan memperhitungkan besarnya Giro Wajib Minimum ditambah Kas Minimum akan menghasilkan besarnya Reserve Requirement yang harus dipelihara oleh bank. Perhitungan dengan metode ini dilakukan dengan menjumlahkan seluruh dana berbiaya yang dihimpun kemudian membuat share atau komposisi dana dengan pembobotan dalam persentase (%), tingkat bunga masing-masing sumber dana, besarnya Reserve Requirement (RR) yang terdiri dari GWM dan Kas Minimum, berdasarkan besarnya RR hitung biaya bunga efektif yang ditanggung.

Contoh perhitungan COLF dengan metode WACOF:

 Tabel Pricing Pembiayaan

Perhitungan yang dilakukan:

  • Interest effective merupakan suku bunga efektif yang menjadi beban bank, yaitu Suku Bunga dibagi dengan 1-RR
  • Cost of contribution merupakan kontribusi biaya bunga yang dihitung dengan mengalikan interest effective (%) dengan komposisi (%)
  • Cost of fund dari dana yang dihimpun bank diperoleh dengan menjumlahkan masing-masing cost of contribution sebesar 9,29%

Berdasarkan COLF 9,29% maka bisa dihitung Base Lending Rate bank sebagai berikut:
Cost of Loanable Funds           9,29%
Margin/Spread                            2,00% +
COLF+Margin                             11,29%
PPh 35% + Margin 2%                  0,70%
OHC                                              2,00%
Risk/Premium                                1,50% +
Base Lending Rate                       15,49%

Daftar Pustaka

Kasmir.  Analisis Laporan Keuangan. Jakarta: Penerbit PT. RajaGrafindo. 2008.

Kasmir. Manajemen Perbankan. Jakarta: Penerbit PT. RajaGrafindo. 2008.

Slamet Riyadi. Banking Assets and Liablitiy Management. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2006.

Soetanto Hadinoto. Bank Strategy on Funding and Liability Management. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo. 2008.

Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syariah dari teori ke praktek. Jakarta: Gema Insani. 2009.

Menghindari Krisis Dengan Menjaga Kesehatan Bank

Perekonomian Indonesia sedang dilanda cobaan berat; nilai tukar rupiah dan bursa saham melemah, inflasi tinggi, dan neraca perdagangan defisit. Hal ini membuat khawatir banyak pihak. Dikhawatirkan, krisis moneter tahun 1998 terulang kembali. Tentunya keadaan ekonomi sekarang berbeda dibanding 15 tahun yang lalu.

Krisis 1998 berawal dari krisis perbankan yang menjalar menjadi krisis ekonomi, sosial, dan politik. Saat ini keadaan perbankan relatif sehat. Ini terlihat dari cukup baiknya rasio-rasio penting dalam menilai kinerja keuangan bank per Juni 2013;  rasio nonperforming earning asset terhadap earning assets bank di Indonesia sebesar 1,57%, capital adequacy ratio sebesar 18,08%, return on assets ratio sebesar 3,02%, dan liquid assets ratio sebesar 16,22% (sumber data: Bank Indonesia).

Pada masa menjelang krisis 1998 kinerja bank menurun karena peningkatan kredit bermasalah, turunnya modal bank, manajemen yang tidak profesional, serta lemah dan longgarnya pengawasan bank. Kemudian, saat nilai tukar rupiah turun banyak bank tidak mampu menunaikan kewajibannya. Ditambah dengan dilikuidasinya enam belas bank pada November 1997, kepercayaan masyarakat kepada perbankan turun dan akhirnya memicu penarikan dana besar-besaran. Imbasnya pertumbuhan sektor riil; manufaktur, perdagangan, investasi, dan konsumsi ikut menurun. Demi mencegah kembalinya krisis perbankan yang dapat menggoyahkan ekonomi nasional, sistem peringatan dini harus betul-betul diperhatikan oleh bank dan lembaga pengawas perbankan.

Bank-bank diharapkan untuk memperhatikan faktor-faktor seperti permodalan, kualitas aset, manajemen, profitabilitas dan likuiditasnya untuk mendeteksi datangnya krisis. Pendeteksian krisis lebih dini akan memungkinkan bank dan lembaga pengawas perbankan melakukan tindakan guna mencegah terjadinya krisis. Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan yang ketat dan transparan agar bank-bank di Indonesia mampu menjaga kualitas kredit dan likuiditasnya, meraih profit, menjaga tingkat efisiensinya dan menerapkan good corporate governance (GCG).

Perbankan yang sehat dan kuat berarti memperkuat perekonomian nasional sebab melalui perbankan dana dimobilisasi ke berbagai sektor riil. Krisis ekonomi tahun 1998 memberikan kita pelajaran akan pentingnya peran strategis perbankan dalam perekonomian nasional.

*Tulisan dimuat pada Poros Mahasiswa SINDO edisi Sabtu 14 September 2013

KPR iB

Memiliki rumah sendiri adalah idaman semua orang, bahkan menjadi kebutuhan bagi yang sudah berkeluarga karena rumah adalah tempat melepas penat dan bertemu orang-orang terkasih setelah sibuk bekerja atau beraktivitas seharian. Namun harga rumah yang membubung menyebabkan jarang orang yang mampu membeli rumah secara tunai, sehingga membeli dengan angsuran atau menyewa adalah alternatif yang dapat dipilih.

Di bank syariah, tersedia beragam KPR iB yang bisa dipilih sesuai kebutuhan: KPR iB jual beli, KPR iB sewa, KPR iB sewa beli dan KPR iB kepemilikan bertahap. Namun yang banyak ditawarkan oleh bank syariah adalah skema jual beli dan skema sewa beli. KPR iB dengan skema jual beli memberi kepastian jumlah angsuran yang harus dibayar oleh nasabah setiap bulan. Nasabah tidak akan dipusingkan dengan masalah naiknya angsuran apabila terjadi kenaikan suku bunga pasar karena besarnya nilai angsuran tetap sampai masa angsuran selesai.

Harga jual rumah ditetapkan di awal ketika nasabah menandatangani perjanjian pembiayaan jual beli rumah. Misalnya harga beli rumah sebesar Rp.100 juta. Untuk jangka waktu 5 tahun, bank syariah misalnya mengambil keuntungan/ margin sebesar Rp.50 juta. Maka harga jual rumah kepada nasabah untuk masa angsuran 5 tahun adalah sebesar Rp.150 juta. Angsuran yang harus dibayar nasabah setiap bulan adalah Rp.150 juta dibagi 60 bulan = Rp.2,5 juta.

KPR iB dengan skema sewa beli memberi opsi kepada nasabah untuk menyewa rumah yang diinginkannya dan akhirnya dapat ia miliki di akhir masa sewa. Dalam skema ini, harga sewa ditentukan secara berkala berdasarkan kesepakatan antara bank dengan nasabah. Umumnya digunakan untuk pembiayaan KPR iB berjangka waktu panjang, misalnya 15 tahun. Dalam 2 tahun pertama biaya sewa rumah misalnya ditetapkan sebesar Rp.1,5 juta per bulan. Untuk 2 tahun kedua disepakati sebesar Rp.2 juta per bulan, begitu juga untuk tahun-tahun selanjutnya harga akan direview dan ditetapkan biaya sewa per bulannya. Pada akhir tahun ke-15 nasabah dapat membeli rumah yang disewa, misalnya dengan harga Rp.20 juta.

Untuk kedua jenis KPR iB tersebut maupun jenis lainnya, nasabah juga diuntungkan ketika ingin melunasi angsuran sebelum masa kontrak berakhir. Karena bank syariah tidak akan mengenakan pinalti. Jadi, bagi anda yang membutuhkan rumah idaman, jangan ragu ke bank syariah terdekat untuk memperoleh KPR iB. Beragam pilihan, semua menguntungkan.

Sumber : Bank Indonesia.

 

 

 

Layanan iB Dimanapun mudah dan tetap syariah

Untuk menemukan produk iB perbankan syariah, masyarakat dapat memilih untuk datang ke Bank Umum Syariah ataupun ke Bank Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah. Saat ini hampir semua bank terkemuka di Indonesia memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) yang menawarkan produk iB di loket-loket konvensionalnya yang memasang logo iB (ai-Bi). Masyarakat tinggal meminta kepada customer service untuk produk-produk iB sesuai kebutuhannya, seperti Tabungan iB, Deposito iB, KPR iB, dan lain-lain.

Membuka Tabungan iB di loket bank konvensional? Mengambil pembiayaan KPR iB di UUS bank konvensional? Apakah terjamin kesyariahannya? Apakah dana nasabah yang dikelola oleh UUS dan layanan syariah di loket bank konvensional tidak akan bercampur dengan dana nasabah bank konvensional? Jangan khawatir. Dana nasabah iB yang disimpan di UUS telah dijamin tidak akan bercampur dengan dana nasabah bank konvensionalnya. Dana masyarakat yang terkumpul di UUS telah dijamin tidak akan bercampur pengelolaannya.

Pendirian UUS dan pembukaan layanan syariah di loket-loket bank konvensional (disebut dengan layanan office channeling atau OC) telah didukung oleh teknologi informasi (TI) yang kredibel, yang mampu melakukan pencatatan keuangan dana nasabah secara terpisah. Di setiap UUS dan kantor cabang konvensional yang menyediakan layanan iB, telah didukung oleh sistem TI yang mempunyai dua user ID berbeda untuk masuk ke dalam sistem pencatatan. Satu user ID untuk rekening konvensional dan satu user ID lain yang berbeda untuk rekening syariah. Setiap kali ada masyarakat yang membuka rekening syariah di cabang konvensional, petugas bank akan membuka dan membukukan transaksi nasabah di rekening dengan user ID syariah. Oleh karena itu nasabah yang ingin menabung ataupun mendapatkan pembiayaan dari UUS atau layanan syariah bank konvensional tidak perlu merasa khawatir dananya akan tercampur dengan dana bank konvensional.

Lebih dari itu, seluruh kegiatan usaha dan pengelolaan dana UUS dan kantor cabang bank konvensional yang membuka layanan syariah diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang juga adalah anggota dari Dewan Syariah Nasional (DSN) dan secara berkala laporan keuangan UUS dan kantor cabang bank konvensional yang membuka layanan syariah diawasi dan diperiksa oleh Bank Indonesia untuk menjamin setiap UUS dan kantor cabang bank konvensional yang membuka layanan syariah mengelola dana masyarakat dan menjalankan kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Jadi, produk dan jasa iB sekarang semakin mudah didapatkan. Di Bank Umum Syariah, di Unit Usaha Syariah, ataupun di layanan iB di loket-loket bank konvensional, semuanya tetap syariah.

Sumber : Bank Indonesia.

 

 

 

Menghitung Bagi Hasil iB

Berbagi hasil dalam bank syariah menggunakan istilah nisbah bagi hasil, yaitu proporsi bagi hasil antara nasabah dan bank syariah. Misalnya, jika customer service bank syariah menawarkan nisbah bagi hasil Tabungan iB sebesar 65:35. Itu artinya nasabah bank syariah akan memperoleh bagi hasil sebesar 65% dari return investasi yang dihasilkan oleh bank syariah melalui pengelolaan dana-dana masyarakat di sektor riil. Sementara itu bank syariah akan mendapatkan porsi bagi hasil sebesar 35%. Bagaimana menghitung nisbah bagi hasil tersebut?

Untuk produk pendanaan/simpanan bank syariah, misalnya Tabungan iB dan Deposito iB, penentuan nisbah bagi hasil dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: jenis produk simpanan, perkiraan pendapatan investasi dan biaya operasional bank. Hanya produk simpanan iB dengan skema investasi (mudharabah) yang mendapatkan return bagi hasil. Sementara itu untuk produk simpanan iB dengan skema titipan (wadiah), return yang diberikan berupa bonus.

Pertama-tama dihitung besarnya tingkat pendapatan investasi yang dapat dibagikan kepada nasabah. Ekspektasi pendapatan investasi ini dihitung oleh bank syariah dengan melihat performa kegiatan ekonomi di sektor-sektor yang menjadi tujuan investasi, misalnya di sektor properti, perdagangan, pertanian, telekomunikasi atau sektor transportasi. Setiap sektor ekonomi memiliki karakteristik dan performa yang berbeda-beda, sehingga akan memberikan return investasi yang berbeda-beda juga. Sebagaimana layaknya seorang investment manager, bank syariah akan menggunakan berbagai indikator ekonomi dan keuangan yang dapat mencerminkan kinerja dari sektoral tersebut untuk menghitung ekspektasi /proyeksi return investasi. Termasuk juga indikator historis (track record) dari aktivitas investasi bank syariah yang telah dilakukan, yang tercermin dari nilai rata-rata dari seluruh jenis pembiayaan iB yang selama ini telah diberikan ke sektor riil. Dari hasil perhitungan tersebut, maka dapat diperoleh besarnya pendapatan investasi dalam bentuk equivalent rate- yang akan dibagikan kepada nasabah misalnya sebesar 11%.

Selanjutnya dihitung besarnya pendapatan investasi yang merupakan bagian untuk bank syariah sendiri, guna menutup biaya-biaya operasional sekaligus memberikan pendapatan yang wajar. Besarnya biaya operasional tergantung dari tingkat efisiensi bank masing-masing. Sementara itu, besarnya pendapatan yang wajar antara lain mengacu kepada indikator-indikator keuangan bank syariah yang bersangkutan seperti ROA (Return On Assets) dan indikator lain yang relevan. Dari perhitungan, diperoleh bahwa bank syariah memerlukan pendapatan investasi -yang juga dihitung dalam equivalent rate- misalnya sebesar 6 %.

Dari kedua angka tersebut, maka kemudian nisbah bagi hasil dapat dihitung. Porsi bagi hasil untuk nasabah Dari kedua angka tersebut, maka kemudian nisbah bagi hasil dapat dihitung. Porsi bagi hasil untuk nasabah adalah sebesar: [11% dibagi (11%+6%)] = 0.65 atau sebesar 65%. Dan bagi hasil untuk bank syariah sebesar: [6% dibagi (11%+6%)] = 0.35 atau sebesar 35%. Maka nisbah bagi hasilnya kemudian dapat dituliskan sebagai 65:35. Tentu saja dalam prakteknya nasabah iB tidak perlu terlalu pusing dengan perhitungan njlimet bagi hasil semacam ini. Masyarakat hanya tinggal menanyakan berapa rate indikatif dari Tabungan iB atau Deposito iB yang diminatinya. Rate indikatif ini adalah nilai equivalent rate dari pendapatan investasi yang akan dibagikan kepada nasabah, yang dinyatakan dalam persentase misalnya 11% atau 8% atau 12%. Jadi masyarakat dengan cepat dan mudah dapat menghitung berapa besar keuntungan yang akan diperolehnya dalam menabung sekaligus berinvestasi di bank syariah. Sangat mudah bukan?

Sumber : Bank Indonesia.